Sabtu, 10 Desember 2011

MAKNA FILOSOFIS BELAJAR KHAT ARAB


KESENIAN KHAT ARAB


A.    Pendahuluan
Khat  Arab menjadi salah satu kesenian tulisan yang berkembang dalam Islam sejak zaman Rasulullah saw hingga sekarang ini. Bentuknya bermacam-macam dan memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan kesenian yang lain. Hal ini dikarenakan khat arab menjadi bentuk utama ekspresi seni Islam,tanpa menampilkan gambar dari makhluk hidup, karena penggambaran figuratif makhluk hidup yang dianggap tabu oleh sebagian Muslim,[1] karena kekhawatiran terjerumus pada praktek penyembahan dan kemusyrikan. Selain itu, khat ini mempunyai andil yang sangat besar dalam usaha penulisan al-Qur’an. Sehingga tidak berlebihan jika khat Arab mempunyai hubungan yang erat dengan usaha penjagaan al-Qur’an.
Meluasnya Islam, juga berdampak kepada meluasnya budaya-budaya yang berkaitan dengan Islam, termasuk khat. Sebagaimana seni khat arab yang telah banyak ditemukan penulisannya di berbagai tempat, berbagai media, dan dalam berbagai bentuk. Khat arab yang juga dikenal dengan kaligrafi, telah banyak menghiasi dinding-dinding masjid, pemakaman, istana, rumah,menghiasi dinding-dinding, serta perabot, sebagai contohnya khat arab yang tertulis indah pada bangunan Taj Mahal dan dinding Ka’bah di Mekkah dengan tulisan ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an. Fenomena lain di beberapa tempat memposisikan khat arab yang berisi tulisan ayat-ayat al-Qur’an  sebagai kesenian Islam yang dipandang sebagai sesuatu yang sakral, sehingga dianggap mempunyai nilai lebih jika dipajang di rumah, meskipun tidak mengetahui kandungan makna dan isi tulisan yang ada di dalamnya.

 Hubungan antara  Khat dengan al-Qur’an
Menurut ‘Athoillah, hubungan antara khat dan al-Qur’an itu saling melekat. Bagaimana tidak, karena al-Qur’an dituliskan dengan khat arab. Dia juga menyatakan bahwa Allah  dalam firman-Nya bersumpah dengan menggunakan pena[3].  Khat mempunyai kesamaan dengan kesenian al-Qur’an lainnya sebagaimana qiro’at dan juga tahfidz al-Qur’an. Kesamaannya terletak pada :
1.      Ketiganya merujuk pada sumber yang sama, yaitu ayat-ayat al-Qur’an.
2.      Ketiganya dipelajari dan diamalkan dengan sama-sama memperhatikan aspek ke-detail-an. Seperti Qiro’at al-Qur’an yang memperhatikan detailnya nada atau lagu bacaan (bayati, nawa, qarar….), tahfidz al-Qur’an dengan bacaannya yang memperhatikan detail kaidah bacaan, seperti makharijul huruf, tajwid, juga waqaf dan washalnya. Sedangkan dalam khat sendiri memperhatikan detailnya penulisan bentuk-bentuk hurufnya. Semisal penulisan huruf kha’ jika ditulis terpisah berbeda ketika ditulis bersambung dengan huruf lain. Hal ini dapat diumpakan dalam perbedaan hukum bacaan dan cara baca dalam tajwid, ketika suatu huruf bertemu dengan huruf lain dalam satu kata atau lafadh al-Qur’an .
3.      Ketiganya dipelajari, dan dikuasai melalui latihan yang terus menerus, tidak hanya sekali latihan. Sebagaimana tahfidz al-Qur’an yang harus di ulang-ulang (muraja’ah) atas apa yang telah dihafalnya, untuk menjaga hafalannya. Bacaan yang bagus dalam qira’at juga harus dilatih, begitu juga dalam khat, ‘Athoillah menyatakan bahwa setidaknya seorang khathath harus membiasakan diri memegang pena dan menuliskannya, agar tangan menjadi lentur, tidak kaku dalam menulis.
Berdasarkan kesamaan-kesamaan di atas, beliau berpendapat bahwa sifat-sifat ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an itu sama, karena memang telah di atur oleh Allah. Hal ini bisa dikaitkan dengan adanya ayat al-Qur’an yang menegaskan jaminan Allah dalam penjagaan al-Qur’an.
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[4]

Bagaimana khat mempengaruhi orang untuk mengenal al-Qur’an?
Khat ‘Arab menawarkan dan menampilkan kesenian tulisan ‘arab yang biasanya terfokus pada tulisan dari  ayat-ayat al-Qur’an, hadis, maupun kata-kata mutiara atau kata-kata hikmah. Ketika menuliskan ayat-ayat al-Qur’an dengan berbagai bentuknya yang indah maka tanggapan orang tidak hanya berhenti di situ, tidak jarang si penikmat khat juga menjadi penasaran terhadap bacaan dan juga isi dan kandungan dari tulisan tersebut. Maka hal itu akan membuat mereka langsung merujuk kepada al-Qur’an. Misalnya saja  ketika orang awam melihat karya khat yang kemudian mengapresiasikannya, merasa kagum dan senang untuk melihatnya, secara spontan mereka biasanya mengatakan “ subhanallah bagusnya tulisan ini”, kemudian tidak jarang dari mereka akan berusaha membaca apa yang dituliskan dan memahami tulisan tersebut. Meskipun sebagian lain, hanya memperhatikan bentuk lahir dan mencukupkan diri dengan mengetahui bahwa tulisan itu adalah tulisan ayat-ayat al-Qur’an, tanpa memahaminya lebih lanjut.
Hikmah dan Faidah mempelajari Khat
Setelah memaparkan aspek-aspek kesamaan antara mempelajari  khat dengan mempelajari  kesenian yang lain, peneliti memperoleh pernyataan menarik dari bapak ‘Athoillah,
“Umat Islam harus diajarkan meneliti setiap detail”
Sebagaimana pembahasan sebelumnya mengenai pentingnya memperhatikan detail, maka alasan beliau berpendapat demikian tidak lain karena memandang pentingnya manusia, supaya memahami seluk beluk kehidupan, bersikap responsive, dan kritis terhadap apa yang menimpanya dan apa yang ada di sekitarnya. Seorang yang respect terhadap lingkungan sekitar akan senantiasa mendapat tempat dalam masyarakat, dihormati dan dihargai keberdaannya. Berbeda dengan orang yang acuh tak acuh dengan lingkungan masyarakat sekitar, keberadaannya tidak dianggap, tidak dihargai dan tidak dihormati.
Beliau menambahkan bahwa Allah swt sendiri juga menyuruh manusia untuk senantiasa berfikir kritis terhadap ayat-ayat kauniyahnya,
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.[5]
Usaha melihat dan memperhatikan detail yang beliau maksud di atas jika dimaknai kedalam dimensi yang lebih luas sebenarnya sama dengan usaha ber-tafakkur dalam ayat di atas.
            Menurut hemat penulis, ‘Athoillah selain menjelaskan rahasia dibalik mempelajari khat, beliau berusaha mengaitkan dan memperluas hikmah yang dihasilkan dalam pembelajaran khat kedalam dimensi yang lebih luas. hikmah tersebut dikaitkan dengan kapasitas manusia sebagai  makhluk individu yang saling berhubungan dengan makhluk yang lain (hubungan horizontal) , juga berhubungan secara normative sebagai hamba dengan Tuhannya(hubungan vertical).
Keistimewaan pembelajaran khat dengan ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain
Al-Qur’an selama ini telah banyak dikaji dari berbagai cabang keilmuan, baik dari tafsir, ilmu tafsir, ilmu tajwid, ilmu nahwu sharaf dan lain-lain. Keilmuan tersebut biasanya dikaji dalam forum formal seperti kajian di dunia akademisi, diskusi-diskusi, seminar, dan lain-lain. Sedangkan secara  non formal dikaji dalam pengajian khusus di pondok pesantren, pengajian umum di masyarakat, atau bahkan dikaji sendiri secara personal. Kajian tersebut bagi sebagian orang yang konsen dalam memahami al-Qur’an sebagai upaya memahami ajaran-ajaran Islam  memang terasa menyenangkan, tetapi bagi sebagian yang lain mungkin bisa membosankan karena kajian tersebut yang terkesan formal dan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Berbeda halnya ketika belajar khat, karena khat menawarkan pembelajaran yang juga terkait dengan al-Qur’an dengan bungkus kesenian yang sangat diapresiasi oleh sebagian orang. Karena sifatnya seni yang menentramkan orang yang menikmatinya.   
Kepribadian yang berusaha dibentuk dalam pembelajaran khat
‘Athoillah yang berprofesi sebagai guru, baik guru khat maupun guru madrasah ‘Aliyah memandang pendidikan sebagai kegiatan yang penting bagi manusia dalam rangka memahami kehidupan. Pendidikan pada dasarnya bersifat latihan. Dalam pembelajaran khat, latihan menjadi sebuah keniscayaan untuk menghasilkan tulisan yang bagus dan indah. Berdasarkan pendidikan yang seperti ini, beliau menjelaskan bahwa pembelajaran khat menuntut si murid untuk membentuk pola pikir manusia  yang kritis terhadap setiap detail perubahan bentuk huruf. Peran hissi atau naluri atau perasaan memegang peranan penting dalam merespon hal tersebut. Pola pikir kritis dalam pembelajaran khath ini -menurut beliau-  bisa saja ditarik ke konteks kemasyarakatan, dimana segala detail perubahan bentuk huruf dianalogkan dengan perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai kesimpulannya, beliau menuturkan bahwa idealnya, khathath yang benar ketika terjun di masyarakat akan bisa bersikap luwes. Sebagaimana dalam hadis Nabi saw.,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا :عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[6].
Kesimpulan beliau selanjutnya bahwa tulisan itu sebenarnya bisa melambangkan akhlaknya.
Beliau sempat menceritakan pengalaman pembelajaran khath di luar Indonesia, seperti di Mesir, Turki, dan Negara Arab lainnya. Di Turki seorang yang belajar khat bisa mendapatkan ijazah kelulusan setelah menempuh waktu tiga tahun. Itupun ditempuh dengan adanya belajar dengan talaqqi bersama guru khat setiap harinya selama tiga tahun tersebut. Setelah lulus, khathath biasanya tidak lantas berhenti latihan dan menulis. Meskipun hasil tulisannya sebenarnya sudah bisa dinilai bagus dan indah oleh orang lain, tapi khathath masih merasa bahwa tulisannya masih saja kurang bagus dan indah. Hal ini didasarkan pada pengalaman beliau ketika berteman dengan khathath dari Turki, dia selalu menampilkan hasil tulisannya dalam forum khath dalam  jejarinng social facebook. Menurut beliau tulisan yang ditulis merupakan tulisan yang bagus, indah dan banyak diapresiasi oleh orang lain, dengan tulisan yang seperti itu si khathath tersebut, masih belum mau untuk mengikuti perlombaan karena masih menganggap tulisannya yang masih kurang bagus. Hal ini mungkin hanya dialami oleh beberapa khathath saja. Meskipun begitu terdapat pelajaran yang bisa dipetik dari hal ini, bahwa sebagus apapun tulisan yang dibuat, masih saja dirasa kurang bagus, kurang sempurna.Karena memang kesempurnaan hanyalah milik Allah swt semata(Inna al-Kamâla Lillâhi).
 
Dimensi Spiritual dalam Khat
Setelah melewati beberapa dimensi dalam dimensi akhlak personal maupun secara komunal, khath juga melatih aspek spiritualitas khatath . sebelumnya kita perlu sedikit meng-klasifikasikan teks-teks  yang biasa ditulis dalam khath, biasanya terdiri dari:
1.      Ayat-ayat al-Qur’an.
2.      Hadis-hadis Nabi saw
3.      Kata-Kata Mutiara atau kata-kata ber-hikmah.
Ketika menulis khat, ‘Athoillah mengaitkan dengan hukum kausalitas bahwa ketika menuliskan ayat-ayat al-Qur’an, khathath secara tidak langsung berusaha untuk mendekati  Allah swt (Taqarrub Ilallah),hukum kausalitasnya yaitu, semakin banyak menulis ayat-ayat-Nya , maka kita akan merasa semakin dekat dengan Allah. Berlaku pula dalam qira’ah dan tahfidz. Ketika seorang qari’ atau hafidz membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan khusyu’ dan continue, maka Allah juga akan semakin dekat dengan mereka. Begitu pula ketika menuliskan hadis-hadis Nabi saw, maka itulah salah satu usaha khathath untuk meningkatkan kecintaan terhadap Nabi saw. Sedangakn kata-kata mutiara atau kata-kata berhikmah bisa memberikan dan mengajarkan kebijaksaan hidup.
Penjelasan selanjutnya mengenai usaha Taqarrub illallah ini, seharusnya juga dilengkapi dengan beberapa keilmuan yang harus  dikuasai oleh khathath, diantaranya:
a.       Pemahaman terhadap bahasa Arab
b.      Penguasaan beberapa ilmu yang berkenaan dengan al-Qur’an , yang diantaranya yakni Tauhid (Ketuhanan), Fiqih, Tasawwuf, Aqidah Akhlak, Tafsir, Linguistik(Nahwu-Sharaf), dan lain-lain.
Menulis khat juga bisa dianalogkan dengan mengerjakan shalat. Shalat yang benar, dengan khusyu’dan ithmi`nan bisa memberikan efek positif, yaitu mencegah si pelaku dari segala perbuatan yang keji dan munkar. Sehingga terciptalah kebaikan dalam setiap perilakunya. Idelanya begitu. Begitu juga dengan khath, ketika menuliskannya dengan ithmi`nan, maka hasil tulisannya juga bisa dijamin bagus.

Sudi Komparatif Khat Di Arab dan Indonesia.
Pembelajaran khat yang berkembang pada awal-awal mempunyai kemiripan dengan salah satu metode periwayatan hadis atau sanad yang ada dalam dunia tarekat , yakni harus mendapatkan ijazah sebagai pertanda bahwa ia telah diizinkan gurunya untuk mengamalkan ilmunya. Hal inilah yang masih dipertahankan di Turki, Mesir,(sepengetahuan Athoillah). Jenis ijazahnya sendiri terdiri dari dua, yakni ijazah Masyqi dan manhi[7].Sehingga jalinan antara guru dan murid sangatlah erat,sebagaimana hubungan santri dan kiai di Indonesia. Di Indonesia sendiri,-menurutnya- hanya ustad Abdul Razaq yang mendapat ijazah dari guru-guru khat Arab ketika belajar disana. Jadi Hamîd Âmidi (Turki) memberi ijazah kepada Hasan Syalabi, dia memberi ijazah kepada Dawood Bektash hingga ke ‘Abd al-Razzaq. Tetapi anehnya ‘Abd al-Razzaq tidak memberikan ijazahnya kepada anaknya yaitu Faiz Abdul Razzaq (dia merupakan khathtah masyhur di Indonesia, bahkan karyanya di kagumi oleh Bill Clinton).
Tradisi khathath di Arab lebih terfokus pada penguasaan penulisan satu atau beberapa huruf, berbeda dengan para khathath di Indonesia yang harus menguasai minimal tujuh macam khat , untuk bisa disebut khathath. Rujukan yang digunakan di Indonesia pun bermacam-macam, tidak terfokus pada satu rujukan tulisan salah satu guru khat. Sehingga penulisannya terkadang bercampur antara khat milik guru satu dengan khat milik guru yang lain.  
C.     Penutup
Demikianlah makalah tentang penelitian “Kesenian Khat Arab” sebagai refleksi budaya yang terkait dengan al-Qur’an dan social budaya. Semoga pemaparan informasi yang terangkum dengan sangat singkat di atas bisa menambah wawasan kita terhadap dunia khat khususnya khat arab yang bernuansakan Islam, sehingga ke-khas-annya tetap lestari di tengah-tengah pergelutan kreativitas seni yang marak dan hanya menampilkan seni subjektif yang jauh dari nila-nilai reliusitas.


[1] Abdullah Saeed, the Qur’an an Introduction,(London dan New York : Routledge,2008) hal.92.
[2] Khathath di Jombang Jawa Timur yang juga merupakan pendiri Sekolah Kaligrafi (SaKal) di Jombang. Pendidikan sarjana di Universitas Negeri Malang jurusan Bahasa Arab fakultas seni dan sastra. Sedang menempuh program Magister di Universitas Darul ‘Ulum Jombang.

[3] sebagaimana terekam dalam Q.S al-Qalam ayat 1 :  وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
[4] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.


[5] Q.S ‘Ali Imran ayat 190-191.
[6] Hadis Shahih Bukhari ,
[7] Ijazah masyqi  hanya mensyaratkan setor tulisan tanpa bertemu langsung dengan guru, meskipun hanya sekali kalau tulisan sudah dianggap bagus maka guru akan memberikan ijazah tersebut. Sedangkan ijazah manhi  mensyaratkan belajar langsung dengan guru.